5/12/2018

HIKMAH PERSYARI 'ATAN PUASA ROMADHON, UNTUK KETAQWAAN INDIVIDU




Assalaamu'alaykumwrwb.
Ayyuhal ikhwa rohiman warohima humulloh,  sukses meraih tujuan puasa Romadhon dalam merealisasi hikmah pensyariatan puasa romadhon yang hanya diwajibkan bagi hamba yang beriman adalah *mewujudkan ketaqwaan,* sebagaimana firman Alloh Ta'ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
_*"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa."*_ (QS al-Baqarah: 183).

Mewujudkan taqwa adalah dengan kesadaran pemahaman syar'i  untuk _*sepenuhnya ta'at menjalankan perintah Alloh Ta'ala dan menjauhi laranganNya.*_
Jadi ayyuhal ikhwa,
sukses romadhon harus ditempuh melalui dua pendekatan :
*Pertama,* meninggalkan bahkan menjauhi larangan Alloh Ta'ala dari segala perkara yang haram atau sia-sia. Tentu yang pertama harus ditinggalkan adalah apa saja yang membatalkan puasa dan apa saja yang bisa menggagalkan pahala puasa. Rasululloh Sholallohu Alaihi Wassalam, bersabda :

«الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُy عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى الصِّيَامُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا»
_"Puasa itu perisai. Karena itu janganlah seseorang berkata keji dan jahil. Jika ada seseorang yang menyerang atau mencaci, katakanlah, “Sungguh aku sedang berpuasa,” sebanyak dua kali. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, bau mulut orang berpuasa lebih baik di sisi Allah ketimbang wangi kesturi; ia meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya demi Diri-Ku. Puasa itu milik-Ku. Akulah Yang lansung akan membalasnya. Kebaikan (selama bulan puasa) dilipatgandakan sepuluh kali dari yang semisalnya. "_ (HR al-Bukhari).

*Kedua,* mengerjakan perkara-perkara wajib maupun sunnah sesuai yang diperintahkan Alloh Ta'ala. Yang utama tentu menunaikan puasa, kemudian qiyamul lail dengan dilandasi keimanan dan semata-mata mengharap ridho Allah Subhanallohu Ta'ala. Rosululloh Solallohu Alaihi Wassalam, bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
_"Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dan menghidupkan Ramadhan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata mengharap ridha Allah SWT niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan dilandasi keimanan dan semata-mata mengharap ridha Allah SWT niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.,"_ (HR at-Tirmidzi).
Hadis ini sekaligus menunjukkan cara sukses meraih kebaikan _Lailatul Qadar,_ yaitu menghidupkan malam tersebut dengan memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Alloh Subhanallohu Wa Ta'ala.

Taqwa bisa dimaknai sebagai kesadaran akal dan jiwa dengan pemahaman syar’i atas kewajiban mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas, yang diwujudkan secara praktis (‘amali) di dalam kehidupan. Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, makna firman Alloh Ta'ala _*”la’allakum tattaqun”*_ yakni agar dengan puasanya seorang hamba Alloh yang beriman itu telah  mempersiapkan dirinya mengerjakan puasa romadhon untuk meraih taqwa, yaitu telah semakin sadar dan peka melaksanakan perintah-perintah Alloh Ta'ala dan telah semakin sadar dan peka menjauhi larangan-larangan-Nya
Jadi tujuan berpuasa yang diperuntukkan bagi pribadi yang berpuasa, _sho'imun_ adalah _"la'allakum tattaqun"_ meraih ketaqwaan secara individu.
Ayyuhal ikhwa, yang menarik adalah bahwa sesuai dalil yang mewajibkan puasa romadhon sebagai termaktub dalam firman Alloh QS. Al-Baqarah 183 - 187, dimana dari bagian akhir ayat 187 ini berbunyi,

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

_*".... dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu (isteri2-mu), sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."*_

*_"La'allahum yattaquun,"_ supaya mereka bertaqwa.*
Jadi tujuan diperintahkan wajib berpuasa Romadhon itu adalah supaya umat itu bertaqwa.
Hal senada dinyatakan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa _selain menjadi hikmah puasa yang mesti diraih oleh setiap individu Muslim, taqwa juga harus terwujud di dalam keluarga dan masyarakat._ *Kunci mewujudkan ketaqwaan individu, keluarga maupun masyarakat tidak lain dengan menerapkan hukum Alloh yakni syariah Islam*. Jadi untuk menjaga ketaqwaan didalam masyarakat yang beriman itu supaya tetap terjaga pada jalan kebenaran, jalan islam yang lurus, _"shirothol mustaqiem"_ harus berpagar syari'ah. Jadi kesadaran bersyari'ah adalah kebutuhan tak terpisahkan atau bersifat komplementer yaitu berpasangan dengan ketaqwaan. Muslim yang benar2 dapat menjaga ketaqwaannya itu harus selalu dalam lindungan yang dipagari syari'ah, hukum Alloh yang bersumber wahyu Alloh. Sehingga kehidupan muslim akan nyaman, stabil (tetap dalam _dhinul islam_) bila selalu terjaga dalam formalitas kehidupan bersyari'ah. Inilah konsekwensi seorang muslim berpegang pada ajaran Islam secara sepenuhnya (kaffah). Penerapan syariah Islam secara formal dan menyeluruh menjadi kunci mewujudkan keimanan dan ketaqwaan penduduk negeri. Penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa adalah mereka yang secara bersama-sama melaksanakan seluruh perintah Alloh Subhanallohu Ta'ala dan menjauhi semua larangan-Nya. Mereka secara bersama-sama menjadikan hukum-hukum Alloh, yakni syariah Islam, untuk mengatur kehidupan mereka.

Ayyuhal ikhwa, penerapan syariah secara formal dan menyeluruh jelas memerlukan sistem yang menerapkan syariah Islam. Jadi konsekwensi logis kesadaran umat muslim agar terjaga ketaqwaannya itu akan nyaman, stabil bila dalam naungan sistem yang menerapkan syariah islam secara formal. Seyogyanya para sho'imun yang benar2 beriman harus berihtisab, yakni sadar diri berposisi pada Islam yang kaffah, bernaung dalam kepemimpinan Islam yang menerapkan syari'ah. Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah menyeluruh di bawah pimpinan seorang imam atau khalifah yang dibaiat oleh umat. Keberadaan imam/khalifah yang dibaiat oleh umat ini merupakan perkara wajib berdasarkan sabda. Rasululloh Sholallohu Alaihi Wassalam,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati, sementara di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah/Imam), maka matinya adalah mati jahiliah (HR Muslim).

Hadis ini jelas menegaskan kewajiban mengangkat seorang khalifah. Dengan kata lain, hadis ini menegaskan kewajiban menegakkan Khilafah. Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan QS al-Baqarah ayat 30, menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan  umat, juga di kalangan para imam, atas kewajiban mengangkat imam atau khalifah ini.

Hal senada ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haytami, “Ketahuilah, para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berlalu adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan perkara tersebut sebagai kewajiban paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dengan itu seraya menunda penguburan jenazah Nabi saw.” (Al-Haytami, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, I/25).

Sebagai sebuah kewajiban, mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah yang menerapkan syariah Islam termasuk amal taqorrub yang paling agung atau paling utama (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar'iyyah, hlm. 161).

Karena termasuk kewajiban yang paling agung dan paling penting, maka aktivitas dakwah dan perjuangan untuk mewujudkan seorang imam/khalifah yang dibaiat oleh umat, yakni menegakkan Khilafah, harusnya masuk dalam daftar amal paling utama yang harus dilakukan olah kaum Muslim pada bulan Ramadhon agar sukses Ramadhan benar-benar bisa diraih. Bersatulah umat muslim di dunia  dalam naungan khilafah untuk kedamaian dunia dan kesejahteraan bagi semuanya.
Wallohu 'alam bish-showab.

*MARHABAN YA ROMADHON*

*Sendang Indah-Semarang, Ahad pagi, 13 Mei 2018*

3/18/2018

Wanita Muslim mungkin memakai jilbab 'untuk memungkinkan mereka mengintegrasikan lebih banyak

Wanita Muslim yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan tinggi yang tinggal di lingkungan perkotaan modern mungkin memilih mengenakan jilbab karena memungkinkan mereka bergaul dengan teman non-Muslim, bekerja di luar rumah dan berinteraksi dengan orang asing, menurut studi empiris pertama mengapa memakai jilbab meningkat seiring dengan modernisasi .

Upaya untuk memaksa wanita Muslim untuk berhenti memakai jilbab mungkin, oleh karena itu, menjadi kontraproduktif dengan merampas pilihan dan kesempatan untuk berintegrasi: jika wanita tidak dapat menandakan kesalehan mereka dengan mengenakan jilbab, mereka mungkin memilih atau dipaksa untuk tinggal di rumah, menyimpulkan studi tersebut, yang dipublikasikan di European Social Press of Oxford University Press .

"Bagi wanita yang sangat religius, kami menemukan kekuatan modernisasi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi, kehidupan perkotaan, dan kontak dengan non-Muslim benar-benar meningkatkan jilatan," kata Ozan Aksoy , rekan penulis laporan tersebut, Behind the Veil: The Strategic Penggunaan Garb Agama.

"Kami menduga bahwa karena faktor modernisasi wanita yang sangat religius menimbulkan risiko dan godaan di lingkungan perempuan yang membahayakan reputasi mereka karena kerendahan hati maka jilbab kemudian menjadi respons strategis, sebuah bentuk komitmen untuk mencegah pelanggaran norma agama atau menandakan kesalehan perempuan. ke komunitas mereka

"Temuan kami memiliki implikasi penting untuk kebijakan budaya dan integrasi Muslim di Eropa seolah-olah pilihan untuk mengenakan jilbab diambil dari wanita Muslim, mereka jatuh pada cara yang lebih mahal untuk membuktikan kesalehan mereka," kata Aksoy, seorang peneliti postdoctoral dari departemen tersebut. sosiologi di Universitas Oxford.


"Jilbab dipandang sebagai ekspresi asli religiositas seorang wanita. Paradoksnya, wanita-wanita yang terlibat dengan dunia modern yang tampaknya mengandalkan tabir untuk memberi isyarat kepada orang lain bahwa mereka tidak akan menyerah pada godaan kehidupan urban modern, "tambahnya.

Diego Gambetta , rekan penulis laporan lainnya, setuju. "Bertentangan dengan kecenderungan populis yang nampaknya sekarang dominan di Eropa, jilbab bisa menjadi pertanda integrasi yang lebih daripada sedikit.

"Wanita religius yang memiliki lebih banyak teman asli dan tinggal di daerah yang didominasi penduduk asli menggunakan jilbab untuk menjaga reputasi saleh mereka saat diintegrasikan," kata Gambetta, seorang profesor sosiologi dan rekan resmi Nuffield College, University of Oxford. "Melarang atau menghindari jilbab akan membuat mereka kehilangan sarana yang memungkinkan mereka mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk integrasi daripada menandai perbedaan mereka."

Studi ini menarik data dari ribuan wanita yang tinggal di Belgia, Turki dan 25 negara Muslim. Aksoy dan Gambetta menggunakan model matematis untuk melihat bagaimana intensitas pemakaian jilbab bervariasi sesuai dengan pendidikan wanita, pekerjaan, urbanisasi dan kontak dengan non-Muslim. Studi ini mencakup penggunaan jilbab, sorban atau jilbab, chador, burqa (yang menutupi wajah juga), dan tidak ada penutup kepala sama sekali.

"Seperti yang Anda duga, kami menemukan kecenderungan mengenakan jilbab menurun di antara wanita muda berpendidikan tinggi saat mereka terpapar pengaruh modern jika mereka adalah wanita Muslim 'rata-rata beragama'," kata Gambetta. "Namun, wanita Muslim yang 'sangat religius' cenderung meningkatkan pemakaian penutup kepala agama dan menggunakan gaya yang lebih konservatif sebagai tingkat modernisasi, atau 'risiko' yang mereka hadapi, meningkat."

Dua wanita Muslim menuntut New York setelah polisi membuat mereka menghapus jilbab

Dua wanita Muslim yang ditangkap mengatakan bahwa departemen kepolisian New York memaksa mereka untuk menghapus penutup kepala agama mereka dan berpose untuk mugshots menggugat kota tersebut pada hari Jumat untuk mencoba mengubah praktik tersebut.

Para wanita dan kelompok advokasi, Turning Point for Women and Families, mencari status tindakan kelas dengan tuntutan pengadilan federal Manhattan.

"Membutuhkan seorang wanita Muslim untuk melepaskan jilbabnya di depan umum sama dengan menuntut agar orang sekuler telanjang telanjang di depan orang asing," kata tuntutan hukum tersebut, yang mencari ganti rugi yang tidak ditentukan dan sebuah pernyataan bahwa penanganan foto-foto polisi kota itu tidak konstitusional.

Kantor hukum kota tersebut mengatakan akan meninjau kembali tuntutan hukum tersebut. "Tapi kami yakin bahwa kebijakan kehumasan departemen kepolisian melewati kebijakan konstitusional. Ini dengan hati-hati menyeimbangkan penghormatan departemen terhadap kebiasaan semua agama dengan penegak hukum yang sah perlu mengambil foto penangkapan, "kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan.

"Orang-orang yang tidak ingin menghilangkan penutup kepala agama di depan orang lain memiliki pilihan untuk dibawa ke fasilitas terpisah yang lebih pribadi untuk difoto."

Menurut gugatan tersebut, kebijakan kepolisian New York gagal total untuk melindungi hak-hak Jamilla Clark, Cedar Grove, New Jersey, dan Arwa Aziz, dari Brooklyn. Clark ditangkap pada tanggal 9 Januari 2017, dan Aziz ditangkap pada tanggal 30 Agustus 2017.

Gugatan tersebut mengatakan bahwa Clark menangis di markas polisi dengan jilbabnya menyusut di sekitar bahunya setelah dia ditangkap karena melanggar perintah perlindungan palsu yang diajukan oleh mantan suaminya yang kasar, yang telah membuat dakwaan untuk mendapatkan status imigrasi sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga yang diklaim. . Dikatakan bahwa petugas polisi telah mengancam untuk mengadili Clark jika dia tidak melepaskan penutup kepala.

"Seperti banyak wanita Muslim yang keyakinan religiusnya mendikte bahwa mereka memakai jilbab, Clark merasa terpapar dan dilanggar tanpa miliknya - seolah-olah dia telanjang di tempat umum," kata gugatan tersebut, menambahkan bahwa seorang perwira polisi secara terbuka telah mempermainkan agama Muslim.

Tuntutan hukum tersebut mengatakan bahwa Aziz terisak-isak di gedung Brooklyn sambil menutupi kepalanya di sekitar bahunya setelah dia ditangkap karena melanggar perintah perlindungan palsu yang diajukan oleh seorang saudara ipar yang pendendam. Dikatakan Aziz merasa patah saat fotonya diambil di mana selusin petugas polisi pria dan lebih dari 30 narapidana laki-laki bisa melihatnya.

Dikatakan bahwa kebijakan polisi melanggar amandemen pertama dan undang-undang federal dan negara bagian.

Clark menghadapi sidang pada tanggal 16 April. Sebuah sidang untuk Aziz diadakan pada tanggal 28 Februari.

2/06/2018

Jangan mengatas namakan sunnah!!!

Pemikiranmu sangatlah dangkal ketika sudah merasah dirimu beriman jika telah mengenakan hijab Syari'i.
Oh tiiidaaaakk

Semua itu hanyalah tampilan saja
Yang menentukan iman adalah hatimu.
Kamu merasa bahwa kamu hidup dalam sunnah tapi nyatanya kamu menyalahi sunnah.

Kamu menyatakan dont pacaran kami sedang tidak berpacaran kami hanya berteman sesuai sunnah, kami saling belajar dan menguatkan sesuai sunnah,  ya kami saling menginginkan dan merindukan sesuai sunnah.

Lagi lagi sunnah yang di kambing hitamkan,  lagi lagi sunnah dan sunnah yang menjadi alasan agar terlihat beriman dalam lumuran dosa.
Ukthy sadarlah kendalikan hawa nafsumu.

Sunnah tidak mengajarkan demikian,  jika kamu merasah bahwa dirimu beriman hiduplah layaknya seorang muslim yang tidak menyalahi sunnah dengan sebenar benarnya,  lakukan dengan ketulusan di hatimu bukan karena kamu ingin terlihat tulus dihadapan seseorang sebab rasulullah muhammad saw tidak pernah mengajarkan hal demikian.

Rasululullah tidak pernah mendekati seseorang dengan alasan saya sedang bersunnah dengannya, hahaha ini sungguh sangatlah terdengar lucu, inilah hal yang dapat merusak aqidah kita karena telah lancang menjadi penghianat di tengah tengah orang orang yang memberikan kita kepercayaan bahwa kita telah dipandang baik ternyata hati menyimpan seribu keinginan, hasrat, untuk menyalahi sunnah dan inilah ciri ciri orang munafik, ya orang munafik luarnya saja yang baik tapi dalamnya busuk

#Astgfirullah

1/12/2018

Keutamaan menyambung silaturrahim dalam islam

KEUTAMAAN MENYAMBUNG SHILATUR RAHIM

عَنْ أَنَسِ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.  متفق عليه

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan jejaknya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya.”[1]

Makna “…dipanjangkan jejaknya” adalah dipanjangkan umurnya.[2]

Beberapa mutiara faidah yang dapat kita petik dari hadits ini:

1. Menyambung shilatur rahim artinya berbuat baik kepada para kerabat atau keluarga, baik dari ikatan nasab (keturunan) atau perkawinan, menyayangi dan peduli dengan keadaan mereka[3]. Berdasarkan makna ini, jelaslah kesalahan orang yang menamakan kunjungan kepada saudaranya sesama Muslim yang bukan kerabatnya dengan nama shilatur rahim.

2. Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan para Ulama) bahwa menyambung shilatur rahim (hukumnya) wajib secara umum dan memutuskannya adalah perbuatan maksiat (yang termasuk) dosa besar.”[4]

3. Perintah menyambung shilatur rahim ini tetap berlaku meskipun pihak kerabat atau keluarga tersebut tidak membalas kebaikan kita atau bahkan membalasnya dengan keburukan.[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Bukanlah orang yang menyambung shilatur rahim (dengan sempurna) adalah (karena) membalas (kebaikan keluarga/kerabatnya), akan tetapi orang yang menyambung shilatur rahim adalah orang yang jika diputuskan hubungan shilatur rahim dengannya maka dia (justru) menyambungnya.[6]

4. Hadits ini menyebutkan balasan duniawi bagi amal shalih (menyambung shilatur rahim) yang dikerjakan manusia, padahal hukum asalnya, tidak boleh mengerjakan amal shaleh dengan niat mendapatkan balasan duniawi, bahkan ini termasuk perbuatan syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” [Hûd/11:15-16].

Berdasarkan ayat ini, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (Perbuatan) Syirik Adalah Jika Seseorang Menginginkan Dunia Dengan Amal (Shaleh Yang Dilakukan)Nya[7].

Maka bagaimana cara mendudukkan hadits ini dan yang semakna dengannya agar tidak bertentangan dengan makna ayat di atas? Karena tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturrahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya[8].

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allâh Azza wa Jalla (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ، عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَلَهُ سَلَبُهُ

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”[9].

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama[10].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1438H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri, no. 1961 dan Muslim, no. 2557

[2] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitab Riyâdhush Shâlihîn, (1/395 – Bahjatun Nâzhirîn).

[3] Lihat kitab’Aunul Ma’bûd, 5/73 dan Faidhul Qadîr, 1/472

[4] Dinukil oleh Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahîh Muslim, 16/113

[5] Lihat kitab Aunul Ma’bûd, 5/73

[6] HR. Al-Bukhâri, 5/2233

[7] Lihat kitab “Fathul Majîd” (hal. 451).

[8] HR. Al-Bukhâri, no. 1961 dan Muslim, no. 2557

[9] HR. Al-Bukhâri, no. 2973 dan Muslim, no. 1751

[10] Kitab at-Tamhîd lisyarhi Kitâbit Tauhîd, hlm. 406-407


Sumber: https://almanhaj.or.id/8261-keutamaan-menyambung-shilatur-rahim.html

Ketika sibuah hati hadir di tengah tengah kita

KETIKA SI BUAH HATI HADIR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Pembahasan singkat berikut ini adalah beberapa amalan yang disunnahkan untuk dilakukan setelah anak lahir, namun banyak tidak diamalkan oleh kaum muslimin.

1. Bersyukur kepada Allah.
Apabila sepasang suami isteri telah dikaruniai anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah keduanya bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah : 152]

Tidak boleh merasa kecewa atas apa pun keadaan si buah hati, namun hendaklah bersyukur dan bersabar.

2. Mentahnik.
Ketika si buah hati telah dilahirkan, maka seorang ayah hendaknya mentahnik langit-langit mulut si bayi dengan buah kurma yang telah dilumatkan.

3. Mendo’akan.
Kemudian do’akanlah buah hati Anda dengan kebaikan dan keberkahan. Misalnya dengan do’a.

بَارَكَ اللهُ فِيْه.ِ

“Semoga Allah memberikan berkah atasnya.”

4. Memberikan nama.
Seorang ayah dibolehkan memberikan nama kepada si buah hati pada saat ia dilahirkan atau pada hari ketujuh.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Telah dilahirkan bagiku seorang anak laki-laki, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim. Lalu beliau mentahniknya dengan sebuah kurma dan mendo’akan keberkahan baginya. Kemudian beliau menyerahkannya kembali kepadaku.”[1]

Sangat dianjurkan untuk memberikan nama-nama yang baik, indah dan dicintai Allah Ta’ala bagi si buah hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللهِ: عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ.

“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” [2]

Termasuk nama-nama yang dicintai adalah nama-nama para Nabi dan Rasul. Hal ini berdasarkan jawaban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat tentang nama Harun saudara Maryam, padahal Maryam tidak sezaman dengan Nabi Harun dan Harun saudara Maryam bukanlah Nabi Harun, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ.

“Sesungguhnya mereka biasa menamakan (anak-anak mereka) dengan nama-nama Nabi dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.” [3]

5. ’Aqiqah
Kemudian pada hari ketujuh, disunnahkan bagi kedua orang tua untuk meng’aqiqahi anaknya, mencukur rambutnya dan diberikan nama.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.

“Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (kambing) untuknya ada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.”[4]

‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dan al-Husain pada hari ketujuh.” [5]

‘Aqiqah hanya boleh dengan kambing. Bagi anak laki-laki disembelih dua ekor kambing, sedangkan bagi anak perempuan disembelih seekor kambing.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.

“Bayi laki-laki di’aqiqahi dengan dua ekor kambing dan bayi perempuan dengan seekor kambing.”[6]

Bagi orang tua yang tidak mampu, maka tidak mengapa ber’aqiqah dengan seekor kambing untuk anak laki-laki. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنٍ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dengan seekor kambing dan al-Husain dengan seekor kambing.” [7]

Hadits ini shahih. Dari hadits ini, ada ulama yang berpendapat bahwa ‘aqiqah anak laki-laki adalah dengan seekor kambing sebagaimana anak perempuan. Di antara yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lainnya.[8]

Jumhur ulama berpegang dengan hadits ‘Aisyah bahwa ‘aqiqah anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing dan ‘aqiqah anak perempuan adalah dengan seekor kambing. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullaah setelah membawakan kedua hadits di atas beserta hadits-hadits lainnya, beliau berkata, “Semua hadits yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan (dalam masalah ‘aqiqah).”

Beliau melanjutkan, “Meskipun riwayat Abu Dawud adalah tsabit (shahih), akan tetapi tidak menafikan hadits-hadits shahih lainnya yang menentukan dua ekor kambing bagi anak laki-laki. Maksud hadits itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya ber’aqiqah dengan seekor kambing bagi anak laki-laki…” [9]

Syaikh Abu Muhammad ‘Isham bin Mar’i berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya ber’aqiqah dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, walaupun sunnahnya adalah dengan dua ekor kambing sebagai-mana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sunnah ini hanya berlaku bagi orang tua yang tidak mampu melakukannya, karena tidak semua orang tua mampu meng’aqiqahi anak laki-lakinya dengan dua ekor kam-bing. Inilah pendapat wasath (pertengahan) yang meng-himpun berbagai dalil.”[10]

Jenis kelamin kambing ‘aqiqah adalah boleh jantan atau pun betina. Hal ini berdasarkan hadits yang di-riwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2835), at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya.

Persyaratan kambing ‘aqiqah tidak sama dengan kambing kurban. Hal ini adalah pendapat Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani rahimahumullaah.[11]

• Bacaan ketika menyembelih kambing ‘aqiqah
Pertama: Wajib membaca “bismillah” berdasarkan firman Allah Ta’ala.

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ

“Dan janganlah kamu memakan dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebutkan Nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan.” [Al-An’aam : 121]

Kedua: Boleh juga dengan membaca.

بِسْمِ اللهِ، اَللهُ أَكْبَرُ.

“Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar.”

‘Aisyah berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembelihlah dengan menyebut Nama Allah dan ucapkanlah.

بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ، هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلاَنٍ.

“Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar. Ya Allah, sembelihan ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini adalah ‘aqiqah si Fulan.’” [12]

Tidak boleh melumuri kepala bayi dengan darah kambing ‘aqiqah. Perbuatan ini merupakan amalan bid’ah serta perbuatan kaum Jahiliyyah.

Boleh memotong atau mematahkan tulang kambing sembelihan ‘aqiqah, sebagaimana yang lainnya.

Orang tua yang ber’aqiqah boleh makan dagingnya, bersedekah, memberi makan orang lain, atau meng-hadiahkan kepada kaum muslimin.

Boleh membagikan daging yang belum dimasak, akan tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah dimasak terlebih dahulu.[13]

Bagi orang dewasa yang belum di’aqiqahi pada waktu bayinya, tidak ada tuntunan dari syara’ untuk meng’aqiqahi dirinya sendiri. Hal ini karena lemahnya hadits yang berkenaan dengan hal tersebut.

6. Mencukur rambut pada hari ketujuh dan bersedekah.
Disunnahkan mencukur rambut secara merata, yaitu digundul (dibotak), lalu bersedekah senilai dengan perak seberat rambutnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah.

اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِوَزْنِ شَعْرِهِ فِضَّةً عَلَى الْمَسَاكِيْنِ.

“Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada orang-orang miskin.” [14]

7. Khitan
Khitan adalah memotong atau tempat memotong kulit yang menutupi kepala dzakar laki-laki dan memotong atau tenpat memotong kulit yang menyerupai jengger ayam yang berada di atas farji perempuan (kelentit).[15]

Disyari’atkannya khitan adalah berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: َالإِخْتِتَانُ، وَاْلاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبِطِ.

“Fitrah itu ada lima hal: khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak.” [16]

Makna fitrah dalam hadits ini adalah sunnah, yakni kelima hal tersebut menjadi sunnahnya para Nabi dan Rasul yang diakhiri dengan kenabian dan kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[17]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan bahwa fitrah ada dua macam: Pertama, fitrah yang berkaitan dengan hati, yaitu ma’rifatullaah (mengenal Allah) dan mencintai-Nya, dan mengutamakan-Nya lebih dari yang selain-Nya. Kedua, fitrah ‘amaliyyah (perbuatan), yaitu hal-hal yang disebutkan di atas.

Maka, yang pertama, ia mensucikan ruh dan mem-bersihkan hati, dan yang kedua membersihkan badan. Dan masing-masing dari keduanya membantu dan menguatkan yang lainnya. Dan fitrah badan yang paling pokok adalah khitan. [18]

Imam al-Khaththabi berkata, “Adapun khitan, maka sebagian ulama mengatakan wajib karena ia adalah bagian dari syi’ar agama, yang dengannya diketahui seorang muslim atas kafir.” [19]

Kewajiban khitan bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan banyaknya riwayat tentang dikhitannya perempuan pada zaman Nabi dan selanjutnya hingga hari ini.

Di antara riwayat yang menyebutkan khitan bagi perempuan adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Atiyah, “Apabila engkau mengkhitan (perempuan), maka potonglah sebagian kelentitnya, janganlah engkau memotong semuanya. Karena yang demikian itu dapat membaguskan wajah dan lebih baik bagi suami.” [20]

Faedah hadits:
1. Adanya tukang khitan bagi perempuan di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa khitan bagi perempuan pada zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kelaziman dan keharusan.

2. Hadits di atas menunjukkan bahwa khitan bagi perempuan telah dikenal di kalangan Salaf sebagai-mana diterangkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (II/344-349, hadits no. 722).

Mengenai waktu mengkhitan bayi tidak ada satu dalil pun yang shalih dan sharih (jelas) yang menentukan waktunya dengan pasti. Sebagian ulama berpendapat tentang disukainya mengkhitan anak laki-laki sebelum berusia tujuh tahun. Hal ini berdasarkan pada perintah syari’at agar menyuruh anak kecil untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun.

Imam al-Mawardi rahimahullaah berkata, “Khitan memiliki dua waktu; waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (dianjurkan). Adapun waktu yang wajib adalah ketika sudah baligh dan waktu yang mustahab adalah sebelum baligh, dan boleh memilih pada hari ketujuh dari kelahirannya. Dan dianjurkan agar tidak mengakhirkan dari waktu yang mustahab, kecuali karena ada udzur.”[21]

Ini untuk waktu khitan bagi anak laki-laki, sedang-kan bagi anak perempuan biasanya dilakukan beberapa setelah kelahirannya.[22]

Apabila seorang laki-laki atau perempuan belum dikhitan sampai dewasa karena tidak mengetahui hukum wajibnya atau keduanya baru masuk Islam, maka keduanya tetap berkewajiban untuk berkhitan. Ini adalah jawaban seluruh ahli ilmu.[23]

Beberapa manfaat khitan: [24]

1. Mengikuti Sunnah para Nabi dan Rasul.
2. Khitan merupakan syi’ar Islam yang agung.
3. Khitan sebagai pembeda antara muslim dan kafir.
4. Khitan sebagai kebersihan dari kotoran dan najis.
5. Khitan pada wanita yang dilakukan sesuai Sunnah dapat menstabilkan syahwatnya, mempercantik wajah, dan terhormat di sisi suaminya.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5467, 6198) dan Muslim (no. 2145), dari Shahabat Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 168).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2132) dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2135), dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2838), at-Tirmidzi (no. 1522), an-Nasa-i (VII/166), Ibnu Majah (no. 3165), dan lainnya. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1165).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (no. 4521), Ibnu Hibban (no. 1056 -al-Mawaarid), al-Hakim (IV/237). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (IV/379-381).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/31, 158, 251), at-Tirmidzi (no. 1513), Ibnu Majah (no. 3163), al-Baihaqi (IX/301), Ibnu Hibban (no. 5286—Ta’liiqatul Hisaan), ‘Abdurrazzaq (no. 7955, 7956), dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1166) dan Tuhfatul Mauduud (hal. 136-137) tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2841), Ibnu Jarud (no. 912) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11856).
[8]. Lihat al-Muwaththa’ Imam Malik (II/501-502) dan Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 33-34).
[9]. Fat-hul Baari Syarh Shahiih al-Bukhari (IX/592).
[10]. Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 34-35)
[11]. Lihat Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 41-44).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 4504) dan al-Baihaqi (IX/303-304). Hadits ini dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Mauduud fi Ahkaamil Mauluud (hal. 153), tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali. Hadits ini lemah karena di dalam sanadnya terdapat Ibnu Juraij, sedangkan ia adalah seorang mudallis.
[13]. Lihat Ahkamul ‘Aqiqah (hal. 47-53).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/390, 392) dan al-Baihaqi (IX/304). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1175) dan Tuhfatul Mauduud (hal. 159-163).
[15]. Lihat Tuhfatul Maudud (hal. 257-258) dan Fat-hul Baari (X/340).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5891, 6297), Muslim (no. 257), Abu Dawud (no. 4198), at-Tirmidzi (no. 2756), an-Nasa-i (I/13-14), Ibnu Majah (no. 292) dan Ahmad (II/229, 239, 410, 489)
[17]. Fat-hul Baari (X/339).
[18]. Tuhfatul Mauduud (hal. 269).
[19]. Tuhfatul Mauduud (hal. 278-279), Fat-hul Baari (X/342), al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (I/300).
[20]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Taarikhnya (V/327). Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 722).
[21]. Lihat Fat-hul Baari (X/342).
[22]. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 301-308).
[23]. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 327-333).
[24]. Lihat Tuhfatul Mauduud fi Ahkamil Maulud (hal. 309-315), oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.

Sumber: https://almanhaj.or.id/1191-ketika-si-buah-hati-hadir.html

Dari 73 golongan itu hanya satu golongan yang selamat


Baca juga Hadits tentang 73 golongan dalam islam
GOLONGAN YANG SELAMAT HANYA SATU

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ ).

Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu ?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Mâjah dan lafazh ini miliknya, dalam Kitâbul Fitan, Bâb Iftirâqul Umam (no. 3992).
2. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no. 63).
3. al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 149).
Hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1492).

Dalam riwayat lain disebutkan tentang golongan yang selamat yaitu orang yang mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu anhum. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

“…Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”[1]

SYARAH HADITS
Islam yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada kita, yang harus kita pelajari, fahami, dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Sahabat (Salafush Shalih). Pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum yang merupakan aplikasi (penerapan langsung) dari apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya pemahaman yang benar. Aqidah serta manhaj mereka adalah satu-satunya yang benar. Sesungguhnya jalan kebenaran menuju kepada Allâh hanya satu, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.

Satu golongan dari ummat Yahudi yang masuk Surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Nabi Musa Alaihissallam serta mati dalam keadaan beriman. Dan begitu juga satu golongan Nasrani yang masuk surga adalah mereka yang beriman kepada Allâh dan kepada Nabi ‘Isa Alaihissallam sebagai Nabi, Rasul dan hamba Allâh serta mati dalam keadaan beriman.[2] Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam, yaitu agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.

Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar tentangku (Muhammad), kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim (no. 153), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu ‘anhu berkata :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153] [3]

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ayat dalam surat al-An’âm bahwa jalan menuju Allâh Azza wa Jalla hanya satu, sedangkan jalan-jalan menuju kesesatan banyak sekali. Jadi wajib bagi kita mengikuti shiratal mustaqim dan tidak boleh mengikuti jalan, aliran, golongan, dan pemahaman-pemahaman yang sesat, karena dalam semua itu ada setan yang mengajak kepada kesesatan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata, “Hal ini disebabkan karena jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanya satu. Jalan itu adalah ajaran yang telah Allâh Azza wa Jalla wahyukan kepada para rasul -Nya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa sampai kepada-Nya tanpa melalui jalan tersebut. Sekiranya ummat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan berusaha mengetuk seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu tertutup dan seluruh pintu itu terkunci kecuali dari jalan yang satu itu. Jalan itulah yang berhubungan langsung kepada Allâh dan menyampaikan mereka kepada-Nya.”[4]

Akan tetapi, faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam Islam itu menyimpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah, yakni memahami al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush shalih. Surat al-Fâtihah secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. [al-Fâtihah/1:6]

Ayat ini mencakup rukun pertama (al-Qur’ân) dan rukun kedua (as-Sunnah), yakni merujuk kepada al-Qur’ân dan As-Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [al-Fâtihah/1:7]

Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada pemahaman assalafush shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal sudah tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus. Disebabkan metode manusia dalam memahami al-Qur’ân dan as-Sunnah berbeda-beda, ada yang benar dan ada yang salah, maka wajib memenuhi rukun ketiga untuk menghilangkan perbedaan tersebut, yakni merujuk kepada pemahaman assalafush shalih.[5]

Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para sahabat, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” [an-Nisâ’/4:115]

Uraian di atas merupakan penegasan bahwa generasi yang paling utama yang dikaruniai ilmu dan amal shalih oleh Allâh Azza wa Jalla adalah para Shahabat Rasul n . Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung turunnya al-Qur’ân, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang mereka fahami dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Karena itu wajib bagi kita mengikuti pemahaman mereka.

Setiap Muslim dan Muslimah dalam sehari semalam minimal 17 (tujuh belas) kali membaca ayat :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿٦﴾صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [al-Fâtihah/1:6-7]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perhatikanlah hikmah berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok manusia (yang tersebut di akhir surat al-Fâtihah) dengan ungkapan yang sangat ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat hidayah, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.”[6]

Permohonan dan do’a seorang Muslim setiap hari agar diberikan petunjuk ke jalan yang lurus harus direalisasikan dengan menuntut ilmu syar’i, belajar agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur’ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para shahabat (pemahaman assalafush shalih), dan mengamalkannya sesuai dengan pengamalan mereka. Artinya, ummat Islam harus melaksanakan agama yang benar menurut cara beragamanya para shahabat, karena sesungguhnya mereka adalah orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ‘Irbadh Bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu tentang akan terjadinya perselisihan dan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar yang terbaik yaitu, berpegang kepada sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafâ-ur Rasyidin Radhiyallahu anhum serta menjauhkan semua bid’ah dalam agama yang diada-adakan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاء الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, karenanya hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin. Peganglah erat-erat Sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.’”[7]

Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Tidakkah kalian mendengar apa yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?’ Mereka berkata, ‘Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ، فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلَى أَمْرِكُمُ الْأَوَّل

Sungguh akan terjadi fitnah”, Mereka berkata, ‘Bagaimana dengan kita, wahai Rasûlullâh ? Apa yang kita perbuat?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian kembali kepada urusan kalian yang pertama kali.”[8]

Apabila ummat Islam kembali kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah dan mereka memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan mengamalkannya menurut cara yang dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah (petunjuk), barakah, ketenangan hati, terhindar dari berbagai macam fitnah, perpecahan, perselisihan, bid’ah-bid’ah, pemahaman-pemahaman dan aliran yang sesat. Bila umat Islam berpegang teguh dengan aqidah, manhaj, pemahaman, dan cara beragama yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada kaum Muslimin keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta diberikan pertolongan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengalahkan musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.

Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat sekarang ini adalah ummat Islam mengalami kemunduran, terpecah belah dan mendapatkan berbagai musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang teguh kepada ‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at Islam sesuai dengan pemahaman Shahabat, serta banyak dari mereka yang masih berbuat syirik dan menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

… وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“… Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi Sunnahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”[9]

Pertama kali yang harus diluruskan dan diperbaiki adalah ‘aqidah dan manhaj[10] umat Islam dalam meyakini dan melaksanakan agama Islam. Hal ini merupakan upaya untuk mengembalikan jati diri umat Islam untuk mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan kemuliaan di dunia dan di akhirat.

FAWA-ID HADITS
1. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya. (lihat Saba’/34:6 ; Muhammad/47:16)
2. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur’ân dan As-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat an-Nisâ’/4: 115)
4. Mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, sedang membenci mereka berarti kemunafikan.
5. Kesepakatan (ijma’) para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah hujjah yang wajib diikuti setelah al-Qur’ân dan as-Sunnah. (lihat an-Nisâ’/4:115 dan hadits al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu )
6. Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
7. Keridhaan Allâh Azza wa Jalla dapat diperoleh dengan mengikuti para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum , baik secara kelompok maupun individu. (lihat at-Taubah/9:100)
8. Para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang menyaksikan perbuatan, keadaan, dan perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendengar sabda beliau, mengetahui maksudnya, menyaksikan turunnya wahyu, dan menyaksikan penafsiran wahyu dengan perbuatan beliau sehingga mereka memahami apa yang tidak kita pahami.
9. Mengikuti para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum adalah jaminan mendapatkan pertolongan Allâh Azza wa Jalla , kemuliaan, kejayaan dan kemenangan.
10. Mengikuti pemahaman assalaufus shalih adalah pembeda antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang selamat dan golongan-golongan yang sesat.
11. Hadits di atas menetapkan bahwa ijma’ para Sahabat sebagai dasar hukum Islam yang ketiga. (an-Nisâ’/4: 115)
12. al-Qur’ân dan as-Sunnah wajib dipahami dengan pemahaman para shahabat, kalau tidak maka pemahaman tersebut akan membawanya pada kesesatan.
13. Kewajiban mengikuti manhaj-nya (cara beragamanya) para shahabat.
14. Golongan-golongan dan aliran-aliran yang sesat itu sangat banyak sedangkan kebenaran hanya satu.
15. Mereka yang menyelisihi manhaj para Sahabat pasti akan tersesat dalam beragama,manhaj dan aqidah mereka.
16. Hakikat persatuan di dalam Islam adalah bersatu dalam ‘aqidah, manhaj, dan pemahaman yang benar.
17. Hadits di atas melarang kita berpecah belah di dalam manhaj dan aqidah.
18. Perselisihan yang dimaksud dalam hadits di atas ialah perselisihan dan perpecahan dalam manhaj dan aqidah. Adapun perselisihan yang disebabkan karena tabi’at manusia dan tingkat keilmuan seseorang yang lebih kurang, maka hal yang seperti ini tidak terlarang secara mutlak asalkan mereka tetap berada di dalam satu manhaj. Seperti perselisihan dalam masalah fiqih dan hukum, hal ini sudah ada sejak zaman Shahabat.
19. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang telah mengamalkan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar dan mereka tidak berselisih tentang ‘aqidah dan manhaj, meskipun ada perbedaan pendapat dalam masalah hukum dan ijtihad.
20. Orang banyak bukan ukuran kebenaran, karena hadits di atas dan ayat al-Qur’ân menjelaskan kalau kita mengikuti orang banyak niscaya orang banyak akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. (al-An’âm/6:116)
21. Tidak boleh membuat kelompok, golongan, aliran, sekte, dan jama’ah atas nama Islam, yang didasari kepada wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri) atas nama kelompoknya tersebut. Karena hal tersebut dapat membuat perpecahan.
22. Bahwa bid’ah dan ahli bid’ah merusak agama Islam dan membuat perpecahan.
23. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah sesat.
24. Kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu dan para da’i, wajib mengikuti jalan golongan yang selamat, belajar, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan dakwah yang hak ini, yaitu dakwah salaf.[11]
25. Do’a yang kita minta setiap hari memohon petujuk ke jalan yang lurus, maka harus dibuktikan dengan mengikuti jalan golongan yang selamat, yaitu cara beragamanya para sahabat Radhiyallahu anhum.

Maraaji’:
1. al-Qur’ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Kutubus sittah.
3. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
4. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, al-Lâlika-i.
5. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayyim.
6. Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah.
7. Dirâsât fil Ahwâ’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifis Salaf minha.
8. Madârikun Nazhar fis Siyâsah.
9. Mâ ana ‘alaihi wa Ash-hâbii.
10. Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
11. Al-Arba’ûna Hadîtsan an-Nabawiyyah fii Minhâjid Da’wah as-Salafiyyah oleh Sa’id (Muhammad Musa) Husain Idris as-Salafi.
12. Badâ’iut Tafsîr Al-Jami’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
13. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts Mâ Ana ‘alaihi wa Ash-hâbii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarur Rayah/ th. 1410 H.
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan al-Baqarah/2:62
[3]. Shahih: HR. Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imâm al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir an-Nasa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[4]. Tafsîrul Qayyim libnil Qayyim (hlm. 14-15), Badâ’iut Tafsîr Al-Jâmi’ Limâ Fassarahul Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (hlm. 88), cet. Daar Ibnu Jauzi.
[5]. Lihat Madârikun Nazhar fis Siyâsah baina Tathbîqâtisy Syar’iyyah wal Infi’âlâtil Hamâsiyyah (hlm. 36-37) karya ‘Abdul Malik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, cet. IX/ th. 1430 H, Darul Furqan.
[6]. Madârijus Sâlikin (I/20, cet. Daarul Hadits, Kairo).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Silahkan baca penjelasan hadits ini dan fawa-idnya dalam buku penulis “Wasiat Perpisahan”, Pustaka at-Taqwa.
[8]. Shahih: HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 3307) dan al-Mu’jamul Ausath (no. 8674). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 3165).
[9]. HR. Ahmad (II/50, 92) dan Ibnu Abi Syaibah (V/575 no. 98) Kitâbul Jihâd, cet. Daarul Fikr, Fat-hul Bâri (VI/98) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 5667).
[10]. Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhhum. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, mu’amalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun ‘aqidah yang dimaksud adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya, inilah ‘aqidah.” (Al-Ajwibatul Mufîdah ‘an As-ilatil Manâhij al-Jadîdah, hlm. 123. Kumpulan jawaban Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan atas berbagai pertanyaan seputar manhaj, dikumpulkan oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III, Daarul Manhaj/ th. 1424 H.)
[11]. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku penulis “Mulia dengan Manhaj Salaf”, cet. V, Pustaka At-Taqwa

Sumber: https://almanhaj.or.id/3825-golongan-yang-selamat-hanya-satu.html