Sebagian kaum muslimin
melakukan beberapa perbuatan yang menyelisihi syariat baik itu berupa
kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, atau kemaksiatan dengan alasan bahwa dia
tidak mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan atau dilarang di dalam Islam.
Dia beralasan bahwa dirinya jahil atau tidak mengerti urusan agama sehingga dia
tidak segan untuk melakukan pelanggaran. Atas dasar ini dia mengatakan bahwa
dirinya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diberikan uzur (maaf)
karena kejahilannya terhadap masalah hukum agama.
Alasan seperti ini tidaklah
bisa diterima begitu saja karena ulama telah mengatur permasalahan al ‘udzru
bil jahl (pemberian maaf yang disebabkan karena kebodohan) agar hal ini tidak
bisa dijadikan sebagai senjata bagi orang-orang yang berpenyakit hatinya agar
bebas melakukan penyelisihan syariat dan tidak pernah mau mempelajari ilmu
agama.
Ketahuilah, bahwa orang yang
bodoh dalam perkara agama lalu terjatuh ke dalam perkara kufur, bid’ah, atau
maksiat terbagi kepada dua keadaan:
PERTAMA: Orang yang jahil
dalam perkara agama disebabkan karena ketidakpeduliannya terhadap perkara agama
padahal dia berada di daerah yang terdapat orang yang berilmu dan memungkinkan
baginya untuk bertanya tentang perkara agama yang tidak diketahuinya. Dia juga
pada dasarnya adalah orang yang tidak mencintai dan menginginkan kebenaran.
Maka orang yang seperti ini keadaannya tidak diberikan uzur (maaf) atas
kejahilannya.
Dalil atas hal ini di
antaranya adalah:
1. Firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ
كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ
أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Sungguh Kami telah jadikan
untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai
hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” [QS Al A’raf:
179]
2. Firman Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan (agama) jika kalian tidak mengetahui.” [QS An
Nahl: 43]
3. Firman Allah ta’ala:
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ
عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” [QS An Nisa`: 165]
4. Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلىالله عليه وسلم bersabda:
وَالّذِي نَفْسُ مُحَمّدٍ بِيَدِهِ
لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمّةِ يَهُودِيّ وَلاَ نَصْرَانِيّ، ثُمّ يَمُوتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النّارِ
“Demi jiwa Muhammad yang
berada di tangan-Nya, tidaklah seorangpun dari umat ini yang mendengar tentang
(kerasulan)ku, termasuk Yahudi dan Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan
tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, melainkan dia termasuk sebagai
penghuni neraka.” [HR Muslim (153)]
KEDUA: Orang yang jahil
dalam perkara agama karena bertempat tinggal di daerah yang tidak ada orang
yang memahami tentang perkara agama (seperti daerah pelosok dan pedalaman) yang
bisa dijadikan sebagai tempat bertanya. Ataupun sama sekali tidak terlintas di
pikirannya bahwa apa yang dilakukannya adalah haram sehingga dia tidak
bertanya, sedangkan dirinya adalah termasuk orang-orang yang mencintai agama
dan menginginkan kebenaran. Orang yang seperti ini keadaannya diberikan uzur
(maaf) atas kejahilannya.
Dalil atas jenis yang kedua
ini di antaranya adalah:
1. Firman Allah ta’ala:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” [QS Al Baqarah: 286]
Dari ayat ini dapat diambil
sebuah kaidah bahwa seluruh perbuatan haram yang dilakukan oleh seorang hamba
dalam keadaan salah yang tidak disengaja ataupun lupa, maka dia dimaafkan,
tidak dihukum atas kesalahannya, tidak batal ibadahnya, dan tidak wajib
membayar kafarah. Kejahilan adalah saudaranya lupa. Demikian makna kalam Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Liqa`u Asy Syahri (1/355).
2. Firman Allah ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى
نَبْعَثَ رَسُولاً
“dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [QS Al Isra`: 15]
3. Firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ
الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا
كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Tidaklah Rabbmu
membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami
membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman.”
[QS Al Qashash: 59]
4. Kisah Mu’awiyah ibnul
Hakam radhiallahu ‘anhu ketika sedang melaksanakan shalat berjamaah bersama
Rasulullahصلىالله عليه وسلم lalu ada salah seorang angota jama’ah yang bersin
dan mengucapkan alhamdulillah, maka Muawiyah menjawabnya dengan mengatakan:
“Yarhamukallah.” di dalam shalat. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di
dalam kitab Shahihnya nomor 537.
Sisi pendalilan dari hadits
ini adalah Mu’awiyah berbicara mengucapkan “yarhamukallah” di dalam shalat
kepada orang yang bersin disebabkan karena kejahilannya tentang larangan
berbicara dengan kalam manusia di dalam shalat. Dalam kasus ini Mu`awiyah
mendapatkan uzur karena kejahilannya dan tidak diperintahkan untuk mengulangi
shalatnya.
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz
bin Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya tentang masalah al ‘udzru bil jahl di
dalam masalah aqidah, maka beliau menjawab:
“… Tidaklah seseorang
diberikan uzur dengan ucapannya “saya jahil dalam masalah seperti ini”
sedangkan dia berada di antara kaum muslimin dan telah sampai kepadanya
Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya عليه الصلاة والسلام . Orang seperti ini
dinamakan sebagai mu’ridh (orang yang berpaling), dan disebut sebagai orang
yang lalai dan berpura-pura jahil terhadap perkara yang agung ini.” Lalu Syaikh
berdalil dengan ayat ke-44 dari surat Al Furqan, ayat ke-179 dari surat Al
A’raf, dan ayat ke-30 dari surat Al A’raf.
Selanjutnya beliau berkata:
“Adapun orang yang berada jauh dari kaum muslimin, di ujung negeri yang tidak
ada padanya kaum muslimin dan tidak sampai kepadanya Al Qur’an dan as sunnah,
maka dia mendapatkan uzur. Hukumnya seperti hukum ahlul fatrah (kaum yang hidup
sebelum masa kenabian dan tidak sampai kepada mereka dakwah tauhid) yang
meninggal dalam keadaan seperti ini yang mereka itu akan diuji (keimanan
mereka) pada hari kiamat. Barangsiapa yang mengikuti dan patuh terhadap
perintah (Allah) maka dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka maka dia
masuk neraka.”
Sampai kepada perkataan
beliau rahimahullah: “Maka wajib bagi pria dan wanita dari kalangan kaum
muslimin untuk mempelajari agama, bertanya tentang perkara-perkara yang
membingungkan mereka, tidak berdiam diri di dalam kejahilan, tidak berpaling,
dan tidak lalai; karena mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan
menaati-Nya subhanahu wa ta’ala. Tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya
melainkan dengan ilmu. Ilmu tidak akan bisa dihasilkan dengan sikap lalai dan
berpaling. Akan tetapi harus dengan menuntut ilmu dan harus dengan bertanya
kepada ahlul ‘ilmi hingga orang yang jahil dapat memahami.” Demikian jawaban
dari Syaikh Ibnu Baz rahimahullah sebagaimana di dalam kumpulan fatwa beliau (9/313).
Di dalam “As`ilah wa Ajwibah
fil Imani wal Kufri” (1/73/soal 35), Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar Rajihi
hafizhahullah ditanya tentang perincian di dalam masalah al ‘udzru bil jahl
(pemberian maaf yang disebabkan karena kebodohan). Lalu beliau menjawab:
“Masalah ‘udzru bil jahl
telah dijelaskan oleh ulama rahimahumullah dan telah diperinci oleh Ibnul
Qayyim rahimahullah di kitab Thariqul Hijratain dan Al Kafiah Asy Syafiah, dan
telah dijelaskan oleh para imam dakwah seperti Syaikh Abdullah Aba Buthain dan
yang lainnya, serta telah dijelaskan pula oleh Ibnu Abil ‘Izz sedikit tentang
ini di Syarh Ath Thahawiyyah.
Kesimpulan dalam masalah ini
adalah bahwa orang yang jahil (bodoh) di dalamnya (perkara agama) ada
perincian: Orang jahil yang memungkinkan baginya untuk bertanya dan mendapatkan
ilmu, maka dia tidak diberikan uzur. Dia harus belajar dan harus mencari dan
bertanya. Orang jahil yang menginginkan kebenaran tidaklah sama dengan orang
jahil yang tidak menginginkan kebenaran.
Maka orang jahil ada dua
jenis: Pertama: Orang jahil yang menginginkan kebenaran. Kedua: Orang jahil
yang tidak menginkan kebenaran.
Orang yang tidak
menginginkan kebenaran tidaklah mendapatkan uzur, bahkan meskipun dia tidak
mampu untuk sampai kepada ilmu, karena dia (pada dasarnya memang) tidak
menginginkan kebenaran. Adapun orang yang ingin mengetahui kebenaran, apabila
dia mencari kebenaran tapi tidak berhasil mendapatkannya maka dia dimaafkan.”
Selesai penukilan fatwa secara ringkas.
Sebagai tambahan penjelasan,
silakan pula membaca fatwa Al Lajnah Ad Daimah (3/221/no. 11043) kalam Syaikh
Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid
(1/173) dan Liqa`ul Babil Maftuh (19/30).
Demikianlah penjelasan
ringkas tentang masalah al ‘udzru bil jahl yang saya rangkum dari berbagai
kalam ulama sunnah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
والحمد لله رب العالمين
Sumber:
dakwahquransunnah.blogspot.co.id/Senin, 12 oktober 2015
EmoticonEmoticon