Baca Juga Surga dan Neraka Sudah Allah Ciptakan
Media-Islam
- Dakwah.id - Ghibah atau menggunjing adalah perbuatan
dan karakter yang tercela. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Janganlah kalian saling menggunjing satu sama lain.
Apakah salah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kalian kepada
Allah. Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha
Menyampaikan rahmat).” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُونَ مَا الغِيبَةُ ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ :ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيل:
أَفَرَأيْتَ إنْ كَانَ فِي أخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ :إنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ
فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ .
Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab:
Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Yaitu engkau menyebutkan
sesuatu yang ada dalam diri saudaramu yang tidak disukai olehnya. Dikatakan:
Bagaimana jika perkataanku tentangnya benar? Beliau menjawab: Jika yang kamu
katakan itu benar, maka kamu telah berbuat ghibah, dan jika tidak benar, maka
kamu telah membuat-buat kedustaan pada dirinya. (HR. Muslim: no. 4690; Abu
Daud, no. 4231; al-Tirmizi, no. 1857; Ahmad, no. 6849, 8625, 8648, 9522;
al-Darimi, no. 2598.)
Namun, ada beberapa bentuk ghibah yang dibolehkan dalam
syariat. Syaikh Mahmud al-Mishri dalam bukunya, Rihlah Ma’a ash-Shadiqin,
menjelaskan, ada enam jenis ghibah yang dibolehkan dalam Islam;
1. Ghibah Dalam Rangka Mengadukan Kezaliman
Orang yang dizalimi boleh mengadukan kezaliman yang
diterimanya kepada penguasa, hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau
kemampuan untuk memberikan keadilan dari orang yang menzaliminya. Dia boleh
mengatakan, “Si Fulan menzalimiku begini dan begini.”
2. Ghibah dalam Rangka Meminta Bantuan Untuk Mengubah
Kemunkaran
Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa
mengubah kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan
semisalnya.
Maksud perkataan ini adalah untuk menghilangkan kemungkaran.
Jika maksudnya bukan untuk itu, maka hukumnya haram.
3. Ghibah dalam Rangka Meminta Fatwa
Seseorang mengatakan kepada mufti/ahli fatwa, “Bapakku,
atau saudaraku, atau suamiku telah menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu?
Bagaimana cara saya agar bisa terlepas dari kezaliman tersebut?,” dan
semisalnya.
Perkataan seperti ini dibolehkan untuk suatu keperluan.
Namun, sebagai langkah kehati-hatian dalam bertindak, pertanyaan disampaikan
dengan menggunakan kalimat pihak ke tiga. Misal, “Apa pendapat anda tentang
seorang laki-laki yang berbuat begini-dan begini..dst”.
Cara seperti ini dapat menyampaikan pada tujuan yang
diinginkan tanpa harus menyebut nama terang, meskipun menyebutkan nama juga
boleh. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Baca Juga Langkah - langkah menguatkan iman dalam islam
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi,
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan
nafkah untukku dan anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan
dirinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas
yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadits Muttafaq ‘alaih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’, no. 3221)
4. Ghibah dalam Rangka Mengingatkan Kaum Muslimin dari
Sebuah Keburukan dan Menasehati Mereka.
Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya,
keburukan perawi yang biasa disebutkan oleh perawi yang lain dalam masalah
periwayatan hadits Nabi. Ini dikenal dengan ilmu Jarh wa ta’dil. Ini dibolehkan
berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Bahkan wajib, karena dibutuhkan.
Contoh lain, ketika dalam proses taaruf/khitbah seorang
perempuan yang ingin dinikahi, atau seorang laki-laki yang melamar. Pihak wali
tidak boleh menyembunyikan keadaan yang ada pada perempuan yang ingin
dinikahkan. Bahkan, wali tersebut harus menyebutkan kondisi perempuan/laki-laki
dalam rangka meraih maslahat pernikahan.
Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata,
“..Maka ketika saya sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada
beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan Abu Jahm sudah maju melamarku.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dengankan
Mu’awiyah, dia miskin tidak memiliki harta.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia
adalah seorang laki-laki yang suka memukul wanita.”
Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika
seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah
atau orang fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada
kekhawatiran dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang
melihat itu harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya
orang fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.
Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati
dan murni dalam rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini.
Tidak boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.
Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah
jabatan namun ia tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja,
lalai, atau memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus
seperti ini harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan
nasehat, peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia
mampu.
5. Ghibah dalam Rangka Menjelaskan Perbuatan Fasik dan
Bid’ah Seseorang yang Dilakukan Secara Terang-Terangan
Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr,
merampas harta orang lain, mengambil harta secara zalim, dan melakukan
tindakan-tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang
keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain
kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya.
6. Ghibah dalam Rangka Mengenalkan
Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka
boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si
fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam
rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah
mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik dan positif. (Riyadhus Shalihin,
Imam an-Nawawi, 441/442)
Hal yang perlu diperhatikan dalam enam jenis ghibah yang
dibolehkan dalam Islam di atas adalah, niat, maksud dan tujuannya harus
mengarah kepada kebaikan, upaya menasehati, mengislah, dan tanpa ada unsur niat
tercela apapun. (Disadur dari buku
Rihlah Ma’a ash-Shadiqin karya Mahmud al-Mishri Abu Ammar. wallahu a’lam
Baca Juga
1 komentar so far
:-)
EmoticonEmoticon